Kucing Merah Kalimantan: Petualangan Mencari Sang Elusif di Hutan Borneo

Kucing Merah Kalimantan

Kucing Merah Kalimantan Waktu itu, saya ingat betul pagi berkabut di pinggiran Taman Nasional Sebangau. Rasanya setengah ngantuk, setengah deg-degan, karena saya baru saja baca artikel tentang kucing merah Kalimantan—hewan yang katanya “ngumpet banget”. Eh, nggak taunya saat saya sibuk nyetel tripod kamera, tiba-tiba seekor bulatan oranye lusuh animal dengan ekor panjang mirip sapu menyusup di antara semak.

Saya kaget bukan main. Jantung kayak mau copot. Kamera sempet oleng. Buru-buru saya angkat, tapi gagal fokus—si kucing sudah wikipedia dongak, mata kuningnya nembus kabut tebal. Dia liat saya, kemudian… lari. Saya cuma dapat bayangan oranye di frame terakhir.

Sejak saat itu, saya jadi rajin “ngintip” kucing merah.

  • Pernah sekali saya takut salah jalan sampai nyasar 2 jam di hutan rimba.

  • Ada juga momen saya lupa bawa bekal, cuma punya roti seminggu basi—udah kayak kancil ngirit makan.

Tapi ya seru! Pengalaman ini bikin saya sadar: kucing merah itu ternyata pemalu, tapi penasaran. Mereka sering muncul di pagi atau senja, saat cahaya lembut. Kalau terlalu siang, mereka bakal ngumpet di batang pohon atau semak.

Pesan saya: kalau kamu mau cari mereka, jangan buru-buru. Bawa termos kopi, camilan ringan, dan sabar. Duduk di satu titik selama 2–3 jam bisa memberikan peluang menangkap momen langka mereka keluar.

Menyelami Habitat dan Perilaku

Kucing Merah Kalimantan (Prionailurus planiceps) hidup di ekosistem hutan hujan tropis Borneo. Katanya, wilayah dengan kanal air kecil di dasar hutan basah jadi favorit mereka—mungkin karena banyak tikus dan ikan kecil di situ. Sewaktu nyusur kali kecil, saya selalu jaga jarak. Pernah satu kali, saya kira mau motret si merah, eh malah saya disapa semut merah raksasa (hiperbola sih, tapi perut langsung gatal parah!).


Kucing Merah Kalimantan

Beberapa fakta yang perlu kamu tahu:

  • Aktivitas Nokturnal dan Daur Cahaya: Mereka aktif malam hari tapi juga suka keluar pagi buta. Jadi, jangan berpatokan cuma ke salah satu waktu.

  • Panjat-Panjatan: Lumayan lincah di pohon. Saya sempat lihat satu ekor melompat dari batang rendah sekitar 1,5 meter—langsung oleng kamera.

  • Teritori Tersembunyi: Sayangnya, data tentang jangkauan teritori masih simpang siur. Ada yang bilang radius 1 km, ada juga berdasarkan radio collar, sampai 5 km.

Kesalahan saya dulu: saya cuma fokus di satu titik semata-mata pingin foto, tanpa eksplorasi area sekeliling. Padahal si merah gak betah lama di satu tempat kalau merasa terganggu. Pelajaran: pindah lokasi sedikit tiap 30 menit, tapi perlahan, sambil pantau suara ranting patah atau gesekan daun.

Tantangan Konservasi dan Pelajaran Berharga

Saya gak bakal bohong: usaha konservasi kucing merah masih jauh dari kata gampang. Faktor utama:

  1. Deforestasi Masif
    Lahan di Kalimantan disulap jadi perkebunan sawit tanpa ampun. Hutan yang dulu lebat, sekarang berubah jadi hamparan pohon monokultur. Konsekuensinya, habitat kucing merah terfragmentasi. Saya pernah ketemu petani sawit yang bilang, “Dulu banyak kucing liar, sekarang hampir gak pernah lihat.”

  2. Perburuan dan Perdagangan Gelap
    Meski bukan primadona, ada juga oknum mengincar bulu atau hewan hidup untuk koleksi. Saya inget sekali dengar kabar dari teman jurnalis bahwa jaringan ilegal menjual anak liar kucing merah seharga jutaan rupiah.

  3. Minim Data Ilmiah
    Sedikit studi populasi membuat kebijakan konservasi berjalan lambat. Waktu ikut survei lapangan, saya sering melihat catatan kuno tahun 2000-an—padahal kita sudah di 2025!

Pelajaran penting yang saya petik:

  • Kolaborasi Lokal adalah kunci. Ajak masyarakat adat dan penduduk desa terdekat terlibat, misalnya lewat pelatihan eco-tourism sederhana.

  • Citizen Science: Saya pernah bikin grup WhatsApp “Kalimantan Red Cat Watch” yang isinya penggemar alam. Mereka kirim foto buram pun dihargai, karena jadi data titik distribusi.

  • Advokasi Kebijakan: Ikut seminar-pertemuan pemerintah provinsi soal tata ruang, kadang suara kita kecil, tapi kalau terorganisir, bisa nyurat kebijakan pembatasan konversi lahan.

Tips Praktis Mengamati di Alam

Dari pengalaman ribuan jam di hutan, ini beberapa tips yang bisa langsung kamu terapkan:

  1. Perlengkapan Sederhana

    • Kamera dengan lensa minimal 200 mm (atau binokular sekali pun).

    • Headlamp dengan lampu merah—biar gak bikin hewan kaget.

    • Pakaian wangi netral, jangan parfum buah atau floral, karena bisa menarik serangga berbahaya.

  2. Ritual Senja dan Fajar
    Datang 30 menit sebelum cahaya muncul. Suasana hening, peluang ketemu lebih tinggi.

  3. Jejak Suara dan Bau
    Kucing merah keluarkan suara melonjak rendah saat berkomunikasi. Belajar dengar rekaman di YouTube dulu. Bau urine juga bisa ditangkap dengan plastik zip-lock yang dibuka sedikit di hidung—jangan dihirup terlalu dekat, haha!

  4. Strategi Pengintaian

    • Pilih titik di dekat genangan air atau tikungan sungai sempit.

    • Berdiam di satu tempat maksimal 2 jam, lalu pindah 50–100 meter.

    • Bawa kursi lipat ringan, biar duduk nyaman.

  5. Catat Semua
    Setiap pengamatan, tulis tanggal, waktu, GPS (pakai aplikasi offline), cuaca, dan perilaku. Data ini nanti berguna buat sharing di forum konservasi.

Saya sempat malas tulis jurnal lapangan saat capek. Kesalahan fatal—beberapa catatan hilang. Sekarang, saya selalu siapkan form Excel sederhana di Google Sheets offline. Jadi, lebih rapi dan bisa dibackup.

Momen Kejutan dan Refleksi Pribadi


Kucing Merah Kalimantan

Masih terngiang saat saya dapat rekaman video kucing merah lagi berebut ikan kecil dengan biawak air. Awalnya saya pikir itu monyet—soalnya ngeliat ekornya panjang sambil seluncur di batu. Ternyata, oh ternyata. Ketemu momen kayak gitu bikin saya sadar: ekosistem itu jalinan kompleks antara predator dan mangsa.

Kadang saya juga frustrasi:

  • Harus bangun dini hari, perut keroncongan, hujan deras, batre kamera habis.

  • Pernah motor mogok di tengah jalan tanah becek, kena tilang karena melintasi jalur konservasi tanpa izin.

Tapi saat edit video slow-motion si kucing merah, segala kerepotan terbayar. Saya merasa terhubung dengan alam, dan itu memicu motivasi untuk terus berkarya—bukan cuma foto, tapi juga edukasi.

Pelajaran akhir yang ingin saya bagikan:

Kalau kita peduli, jangan cuma pajang di Instagram. Gerakkan aksi nyata kecil: ajari tetangga soal pentingnya keanekaragaman hayati, adakan pameran foto lokal, atau sekadar menuliskan pengalaman di blog. Sedikit informasi bisa membuka mata banyak orang.

Penutup

Kucing Merah Kalimantan bukan sekadar hewan langka yang keren buat foto. Dia simbol keberagaman dan kekayaan hutan Borneo yang harus kita jaga. Lewat cerita, data, dan pengalaman pribadi ini, semoga kamu dapat inspirasi untuk ikut melestarikan—entah dengan cara mengamati langsung, mendukung program konservasi, atau menyebarkan kisahnya ke teman-teman.

Siap memulai petualanganmu? Jangan lupa bawa kopi hangat, teman seperjalanan yang asyik, dan niat baik untuk menjaga bumi. Karena setiap langkah di rimba berdampak lebih besar daripada yang kita bayangkan. Semoga perburuanmu untuk melihat mata kuning Sang Elusif sukses!

Baca Juga Artikel Ini: Anjing Tekel : Kenapa Cocok Banget Buat Kamu yang Lagi Sepi

Author